Untuk seseorang yang inginku sampaikan langsung padanya bahwa aku menempuh lintasan yang berliku hingga hari ini aku masih bertahan, Ibu...ini ceritaku untukmu dalam bingkai mimpi kita. Izinkanku dalam setiap kata yang akan ku urai adalah kejujuran tanpa sekat.
Bukan tanpa perjuangan aku tiba
disini, sebuah pertarungan hebat baru saja kulalui,walau kenyataan tak sesuai
harapan, maka kesabaran tengah di uji, lalu berjalanlah mencari rasa syukur,
itu yang mestinya ku lakukan. Ikhlas, tak semudah yang kubayangkan selama ini.
Suatu saat dalam cerita hidupku,
aku berada jauh dari tanah moyangku, tiba disebuah wilayah antah barantah di
negeri ini semuanya terasa sangat asing. Aku memilihnya, tanpa alasan setelah
aku gagal menembus anganku. Semua berawal saat
agustus mengumumkan bahwa aku
gagal mewujudkan impian masa kecilku. Kenyataan bertubi-tubi mengingatkanku,aku
gagal. Aku mulai meragukan kekuatan mimpi,benarkah? Bukankah usaha=hasil?
PERIHH.
Tapi kuteruskan langkah ini,
langkah kecil mahasiswa baru diranah kampus yang masih asing. Lama ku
perhatikan buku birunya, buku perkenalan (tugas ospek). Sekilas bagian depannya
sama dengan apa yang ku tulis. Ia menoleh, tersenyum. Kemudian pandangannya
jatuh ke buku biruku yang terbuka lebar, seperti ingin mengatakan sesuatu saat
melihat apa yang ku tulis persis sama dengan yang ia tulis. Aku mengenalnya sejak pertama ospek. Tak
banyak cerita hingga akhirnya kami dipertemukan pada satu titik lewat satu kata
yang tercantum pada buku biru itu.
Akhirnya ku pun tau, ia tak jauh beda denganku, berharap mimpi jadi kenyataan. Lalu apa yang membuat aku ataupun dia sejauh ini bisa bertahan? Adalah sosok mereka yang senantiasa berdoa menngiringi langkah kami. Benar, ia pun mengangguk saat suatu sore ketika cerita diantara kami terus bergulir.“Dian”, kita masih punya kesempatan”, ujarnya sambil menekuri buku perkenalan yang masih terbengkalai. Didepanku tugas ospek masih utuh, semua masih dalam proses. “Maksudnya”??, saking lelahnya menjalani ospek hari ini, ku pun tak bisa menangkap omongannya yang hanya sepotong kalimat sederhana.”katanya pejuang tak boleh kalah dengan dirinya sendiri”, kalah dengan ketidakberdayaan” ia mengurai panjang sembari melilit benang kasur pada sisi bukunya. Aku mengangguk. “Kau benar, tapi apa yang bisa kulakukan, sejauh ini rasanya ku belum mampu mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang ku inginkan”. terlalu mahalkah harga sebuah impian untuk ku tebus dengan semangat dan kerja keras? “Aku masih tak mengerti bukankah usaha sama dengan hasil?” ia mengangguk, meyankinkan bahwa harapan masih ada selagi ada kesempatan untuk meraihnya. Semua bergulir begitu cepat. Untuk hari selanjutnya dengan sebuah proyek yang besar. Hanya aku dan dia yang tahu, Inikah titik balik perjuangan itu?
Akhirnya ku pun tau, ia tak jauh beda denganku, berharap mimpi jadi kenyataan. Lalu apa yang membuat aku ataupun dia sejauh ini bisa bertahan? Adalah sosok mereka yang senantiasa berdoa menngiringi langkah kami. Benar, ia pun mengangguk saat suatu sore ketika cerita diantara kami terus bergulir.“Dian”, kita masih punya kesempatan”, ujarnya sambil menekuri buku perkenalan yang masih terbengkalai. Didepanku tugas ospek masih utuh, semua masih dalam proses. “Maksudnya”??, saking lelahnya menjalani ospek hari ini, ku pun tak bisa menangkap omongannya yang hanya sepotong kalimat sederhana.”katanya pejuang tak boleh kalah dengan dirinya sendiri”, kalah dengan ketidakberdayaan” ia mengurai panjang sembari melilit benang kasur pada sisi bukunya. Aku mengangguk. “Kau benar, tapi apa yang bisa kulakukan, sejauh ini rasanya ku belum mampu mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang ku inginkan”. terlalu mahalkah harga sebuah impian untuk ku tebus dengan semangat dan kerja keras? “Aku masih tak mengerti bukankah usaha sama dengan hasil?” ia mengangguk, meyankinkan bahwa harapan masih ada selagi ada kesempatan untuk meraihnya. Semua bergulir begitu cepat. Untuk hari selanjutnya dengan sebuah proyek yang besar. Hanya aku dan dia yang tahu, Inikah titik balik perjuangan itu?
Pagi ini di wilayah antah barantah
itu. Sedikit berkabut, masih agak pagi sih, tapi lebih baik daripada terlalu
siang, hawa kering dan berdebu sangat tidak membuat nyaman. Sebulan berlalu,
pekuliahan mulai berjalan teratur.
Seseorang duduk tepat di belakangku, seorang cowok bermata sipit sedang
menatap keluar jendela, entah apa yang berada di pikirannya, mungkin ia sama
sepertiku, perantauan yang terkadang merindukan suasana rumahnya. Tapi
sepertinya aku tidak begitu mengenalnya. Aku lupa namanya. Hmmm... apa dia anak
baru? Ahh.. mana mungkin, semuanya juga anak baru, ahh parah, kalau ketauan
senior bisa dimarahin, masa nggak kenal dengan teman sendiri. Ckckkck. “Hey...
udah dapet tanda tangan berapa??” Tanyaku untuk memastikan bahwa makluk ini
memang mahasiswa baru. Ia menoleh, menggeleng cuek. Busheett.. sombong nian
euy. “ aku nggak ikutan ospek, ujarnya meluruskan praduga sementara yang muncul
di benakku,hemm...”setengah melotot..kenapa?” Males aja..”hah??.oooo”...(saatnya
untuk tidak mencampuri urusan orang lain, mungkin sicina ini punya seribu
alasan untuk itu, itu pilihannya, mengurangi keudikanku, jangan sok kenal key )
“Dian,” ...aku menoleh, ia
menghampiriku dengan tergesa.”Kenapa sih buru-buru amat, ada berita apa?” Dapet
tanda tangan ketua BEM ya?” Wahh hebat, mau donkk. “Siiiitt... diam dulu.. aku
punya sebuah rencana yan, ntar deh ceritanya nggak enak ada orang”. Hmmm kirain
apaan.” Ehh... blum tau dia, ntar deh ya kalo aku udah cerita pasti kamu takjub”.
“Wooww... seheboh apa sih ?”
Siang itu aku dan dia larut dalam
pembicaraan serius, sebuah proyek besar. Serasa anak sma lagi, tapi aku
bahagia, untuk akhirnya menemukan jalan ini, tak pernah terbayangkan, akan ada
jalan seperti ini pasca laga kemaren. Ahhhh...kalau ibu tau ia senang atau
malah sedih ya??
“kamu kenal si cina itu nggak?”
Masa dia nggak ikutan ospek, sesaat setelah sicina berlalu di hadapan kami. “Kamu
baru tau yan?” Dia emang nggak ikutan ospek kok. Kenapa? Hmm jangan-jangan
dia kayak(tiiittttt..sensor). “Hahahaha”
. mungkin. Dan sepertinya begitu.
Pasti nggak ada yang percaya dengan
proyek kami. Hebat. Salutku buat dia yang punya rencana brilian ini. Hingga
suatu hari si cina mendapati kami yang sedang asyik mengutak-atik rumus fisika
yang rumit itu. Dan bisa kau tebak kan, dia adalah golongan kami, yang melihat
semua ini dalam dimensi yang berbeda dari kebanyakan manusia lainnya. Untuk
selanjutnya si cina bergabung dengan kami untuk melanjutkan perjuangannya.
Sore itu, atas saran si cina, untuk selangkah lebih maju, iya...untuk sebuah impian perlu pengorbanan. Ibu atau siapapun itu pasti sulit percaya bahkan mungkin tak percaya kalau akhirnya harus menempuh jalan ini, benar kawan, demi persiapan yang lebih matang, kita harus memilih, bertahan dengan keadaan yang sekarang atau melanjutkan perjuangan demi kepuasan batin? Dua hal yang sungguh sulit untuk ku putuskan. Aku menatapnya lalu si cin bergantian, benarkah?? Dua orang ambisius ini terlalu jauh kah?? Otakku masih berputar, lagi-lagi wajah teduh wanita kuat nun disana melintas dibenakku,..pliss god lead me. Untuk sekian menit berikutnya, aku berada dalam keputusan yang sama dengan mereka. Ibu , semoga ini jalan untuk mewujudkan impian kita, restui aku untuk kembali mengulang pertarungan itu, mengubah sejarah menjadi mahasiswa berbaju putih. Ibu maaf ku untuk menyembunyikan semua ini, hingga suatu saat nanti ku ingin kau dengar hal itu dariku. Mohon dukunganmu untukku yang akan vakum dalam beberapa waktu ini. Terkadang inilah yang membuatku tak kuasa menahan tangis saat betapa mahalnya nilai pengorbanan untuk sesuatu yang kita inginkan dibandingkan mereka yang mungkin bisa mendapakannya dengan mudah. Aku masih belum paham hal ini,untuk bisa mengerti tentang keadilan yang memihak. Entahlah.
Sore itu, atas saran si cina, untuk selangkah lebih maju, iya...untuk sebuah impian perlu pengorbanan. Ibu atau siapapun itu pasti sulit percaya bahkan mungkin tak percaya kalau akhirnya harus menempuh jalan ini, benar kawan, demi persiapan yang lebih matang, kita harus memilih, bertahan dengan keadaan yang sekarang atau melanjutkan perjuangan demi kepuasan batin? Dua hal yang sungguh sulit untuk ku putuskan. Aku menatapnya lalu si cin bergantian, benarkah?? Dua orang ambisius ini terlalu jauh kah?? Otakku masih berputar, lagi-lagi wajah teduh wanita kuat nun disana melintas dibenakku,..pliss god lead me. Untuk sekian menit berikutnya, aku berada dalam keputusan yang sama dengan mereka. Ibu , semoga ini jalan untuk mewujudkan impian kita, restui aku untuk kembali mengulang pertarungan itu, mengubah sejarah menjadi mahasiswa berbaju putih. Ibu maaf ku untuk menyembunyikan semua ini, hingga suatu saat nanti ku ingin kau dengar hal itu dariku. Mohon dukunganmu untukku yang akan vakum dalam beberapa waktu ini. Terkadang inilah yang membuatku tak kuasa menahan tangis saat betapa mahalnya nilai pengorbanan untuk sesuatu yang kita inginkan dibandingkan mereka yang mungkin bisa mendapakannya dengan mudah. Aku masih belum paham hal ini,untuk bisa mengerti tentang keadilan yang memihak. Entahlah.
“ Apa rencana ini tidak berlebihan?
Setidaknya ada pertimbangan “Dian, jujur aku masih menginginkannya lebih dari
sekedar ingin”...aku tak ingin menjalaninya dengan sebuah keterpaksaan, kau
paham kan yan bahwa kepuasan batin yang kita cari bukan gengsi semata. Ayolah
yan, kita bukan bicara masa lalu, tapi masa depan yang belum terlambat untuk
kita ubah“Kamu ragu yan?” tapi kita tidak melepasnya kan ??” Setidaknya kita
masih punya harapan hidup jika tetap tak bisa?” aku ingin memastikan bahwa
langkah ini tidak keliru, bahwa inilah yang kami butuhkan saat ini. Untuk yang
mengerti bahwa inilah esensi dari sebuah impian yang membutuhkan pengorbanan
bahkan jiwa sekalipun, setuju kawan?? Maaf kawan kalau banyak tanya yang tak bisa dijawab, pun tatapan heran dari mereka,
ada saatnya mungkin kalian akan tahu dengan sendirinya.
Ibu, izin bolos beberapa minggu ya,
plisss jangan sedih. Aku baik-baik aja kok. Selanjutnya saat perjalanan itu
hampir menunjukkan hasil akhir. Yahh... april yang ganas menyapa, bom atom
kembali mengguncang pertahananku, sabtu yang teramat kelabu, aku dan dia saling
menguatkan dan mencoba untuk tegar. Hanya itu yang sanggup kulakukan. Sekali
lagi kawan, aku meragukan kekuatan
mimpi. Sekali lagi kawan, hukum alam, usaha sama dengan nol.
Pagi setelah beberapa waktu yang
lalu tak beredar di kampus. Banyak mata yang bertanya, heran. Tapi cukup dengan
senyum. “Dian, kemaren kemana aja?” sakit ya”?
Tak banyak komentar karena aku yakin mereka pasti tau hal yang
sebenarnya. “Dian apa yang sedang kau pikirkan”? Aku menghentikan gerakan
pulpenku yang sejak tadi bekerja menuliskan mata kuliah yang banyak
ketinggalan. Aku diam, tak ada yang ingin ku ucapkan, “aku terlalu sedih dengan
semua ini, bila kuingat ibu diseberang pulau nun jauh disana dan sebuah foto usang
yang kutau masih terpajang kaku di ruang tamu, ahhhhh rasanya aku ingin ditelan
bumi. Aku paham kecewanya, mungkin kita tak pantas mendapatkannya. Ku pandangi
kertas fotokopian yang berserakan di meja, ujian semester sudah di depan mata.
Ahhhh....kenapa rumit begini?? “ Ayo kita harus semangad ,”pahit saat ku
ucapkan kata itu.
Ku dengarkan sampai ia selesai
bicara. Bahwa ia tak padam, sekalipun badai menghempasnya, itu yang ingin
kumiliki tapi , sejauh ini aku masih mempertimbangkan apa yang kita peroleh
saat ini karena mendapatkannya pun bukan hal yang mudah. Kamu ingat setahun
belakangan ini, berjuang mendapatkannya bukan berarti pilihan lain tak ada
maknanya. ingat terkadang kita lupa sesuatu yang kecil saat hal yang besar
menjadi tujuan utama, bukannkah sesuatu yang kecil bisa berubah menjadi besar??”.
Ia terdiam. “ Dian aku tak boleh berhenti sampai disini. Aku tertunduk,
sepertinya atmosfer di antah barantah
ini sedang tidak berfungsi, sesak. Ia menatapku, “besok aku berangkat
meneruskan yang kemaren” ujarnya mantap tanpa jeda. Aku masih tak percaya kalau
akhirnya mengundurkan diri adalah jalan terakhir yang dia pilih. Lalu, aku
selanjutnya?? “Ku tunggu keputusanmu” ujarnya sembari menepuk pundakku. Hingga
mentari muncul keesokan harinya, tak kutemukan kata atas inginku, atas
langkahku selanjutnya.” mengapa aku tak berani??”
Saat esoknya tak ku temukan lagi
sosoknya, si cina menghampiriku dengan wajah kusutnya yang hampir sama
denganku. Dan bisa ku tebak apa yang ingin ia sampaikan. “Yan.. minggu ini aku
akan cuti”. Cuti atau mengundurkan diri?? “Mungkin saat ini cuti. “Dian sulit
mempertahankan sesuatu yang tidak kita inginkan. pikirikan baik-baik, bahwa tak
ada yang sia- sia saat kau melakukan sesuatu. Ahhh..kawan, kenapa menasehatiku,
kalau sendirinya begitu. Makin abu-abu. :(
Waktu yang tak bisa ku hentikan
barang sedetikpun saat ku putuskan diam di tempat atau bahkan mengikuti mereka.
Dan inilah yang sanggup kulakukan. Mempertahankan apa yang ada padaku. Walau
inginku melampaui batas kemampuanku. Walau kadang jiwa ini berkelana meninggalkan
raga, mencari dimana mimpi bersembunyi.
Kawan, badai pasti berlalu, kata
tua yang benar adanya. Sebening pagi yang menemaniku melintasi pagi yang masih
perawan. Kalau saja aku tak ingat amanah mu, mungkin aku tlah ditemukan dalam
keadaan yang amat labil malam itu, saat hasil akhir ujian yang membuatku
terpesona,terpana dan tak punya kata, rantai karbon jenuh dan huruf gendut
itulah yang kuraih. Aku masih ingat siapa aku, seseorang yang kini sulit untuk
dibanggakan.
Untuk pertama kalinya aku merasa
hidup di antah barantah ini, untuk pertama kalinya aku merasa udara sekitarku
begitu lembut. Kemana ia selama ini?? Udara ini, mentari yang hangat ini?? Serta
langit indah itu? Antah barntah ini ternyata cantik juga. Atau aku tak mampu
menyadari keberadaan mereka? Langkah ku ringan menuju kampus tercinta, fakultas
tercinta. Semua menyapaku, mengapa mereka begitu ramah?? Atau lagi-lagi aku tak
menyadari ada makhluk lain disekitarku. Ahhh...Kemana aku selama ini??
Waktu masih berputar dengan wajar.
Ibu aku kini tlah kembali ke dunia nyata, setelah beberapa waktu lalu berada di
negeri dongeng seribu mimpi. Aku kembali merasakan gravitasi bumi yang
sesungguhnya. Aku yakin ini berkat doamu. Kini ku mulai memahami mengapa aku
dikirim kesini adaalah bukan untuk mengejar sesuatu tetapi belajar menjadi
sesuatu. Bukan dewa berbaju putih saja
yang bisa menjadi dewa penyelamat, mereka juga punya andil yang sama pentingnya,
bahwa ibu aku belajar bukan untuk sebuah gelar.
Aku berhak bermimpi
Aku berhak menjadi putih
Tetapi aku tak berhak menjadi putih
yang nyata
Aku putih, di dunia yang berbeda
Aku putih di atas kertas, aku putih
dalam lembaran catatan usang
Putih yang tak bisa ku miliku, satu
hal yang harus kau tau, aku bisa menjadi putih bagi hitamnya langit malam
(ketika makhluk putih itu selesai
memeriksa infeksi ditanganku, disuatu
siang saat tiba-tiba ingatanku masih melekat tentang putih, untuk ku kenang
sejenak, bukan untuk kembali meraihnya, mungkin aku tlah mendapatkannya,
disini. )
“Dian..apa bedanya a dengan d?”
“nggak ada”, mereka sama pentingnya bagi manusia, bersyukurlah bila kau
terpilih memerankan salah satu diantaranya dan berjuanglah, tak satupun yang
sia-sia di dunia ini, semua tercipta dengan skenario dan susunan cerita yang
begitu indah. Allah lebih tau tentang segala sesuatunya.
“Jika kita berupaya sekuat tenaga
menemukan sesuatu, dan pada titik akhir upaya itu hasilnya masih nihil, maka
sebenarnya kita telah menemukan apa yang kita cari dalam diri kita sendiri
yakni kenyataan, kenyataan yang harus dihadapi sepahit apapun keadaannya” (Edensor
).
No comments:
Post a Comment